Rabu, 30 Desember 2015

Refleksi Akhir Tahun



            Semangat pegiat literasi di Indonesia untuk menanamkan budaya baca bagi masyarakat. sebagai sampel di wilayah Yogyakarta, banyak sekali kaum muda yang aktiv dan bergerak untuk mengenalkan buku kepada masyarakat. Moh.Mursyid (Fb: Moh.Mursyid) dengan kiprahnya di bidang penulisan, banyak tulisan-tulisannya yang menghiasi berbagai media massa di Tanah Air sekaligus juga menyusun buku bidang perpustakaan, penulis yang sangat produktif ini mengaku bahwa beliau bisa menulis karena dia banyak membaca karena untuk memunculkan ide menulis harus banyak membaca. Prof.Sulistyo-Basuki (FB: Sulistyo Basuki) dalam kata pengantar di buku “Be A Writter: Strategi Jitu menjadi penulis kreatif bagi pustakawan” milik Moh.Mursyid mengungkapkan bahwa menulis dan membaca merupakan satu kesatuan mirip koin dengan dua sisi. Ungkapan itu sangat benar, karena bisa menulis karena membaca untuk mendapatkan ide untuk tulisannya.
         Kemudian ada juga Triyanto (Fb: Triyanto) yang baru-baru ini sedang menjadi trending topic dikalangan pustakawan maupun masyarakat karena Teras Baca yang dibangunnya bersama rekan-rekan pemuda di desanya mampu menyedot perhatian banyak masyarakat. di dukung dengan kreativitasnya mempromosikan Teras Baca di sosial media maupun media massa menjadikan masyarakat terinspirasi untuk mengkuti jejaknya. Banyak TBM (Taman Baca Masyarakat) dengan berbagai nama dan kreativitas oleh pendirinya seperti TBM Cakruk Pintar, Rumah Pintar Mata Aksara, TBM Luru Ilmu dan masih banyak lagi TBM-TBM di wilayah Yogyakarta  menunjukkan bahwa pegiat literasi semakin kreativ dalam mendekatkan buku kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan yang dilakukan.
Di wilayah Gunung Kidul ada sosok pemudi pelopor yaitu Gemma Hanggarsih Tiftasani (FB: Gemma Hanggarsih) sangat aktif mendampingi masyarakat dalam membangun wilayah Gunung Kidul melalui perpustakaan. Bekerjasama dengan KPAD Gunung Kidul, Gemma meberikan support dan pendampingan secara massif untuk perpustakaan-perpustakaan desa di wilayah Gunung Kidul.
            Perpustakaan Batu, istilah baru yang baru dikenalkan oleh sosok Budi Martono (FB: Didy Huft) untuk menamakan Candi. Dari kunjungannya ke berbagai candi yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta serta dari berbagai referensi yang Budi baca, Budi mengungkapkan bahwa apa yang ada di sebuah bangunan candi banyak pelajaran yang dapat diambil. Selain sebagai bangunan tempat Ibadah nenek moyang bangsa Indonesia, ternyata candi merupakan bentuk kemas ulang yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu. Relief yang terukir di batu candi merupakan isi dari sebuah Kitab Suci. Oelh sebab itu, Perpustakaan Batu merupakan istilah yang cocok untuk menamakan candi.
Masih banyak lagi tentunya pemuda pemudi Indonesia yang menjadi pelopor untuk Literasi di Indonesia, ada Budi Santoso (FB: Budi Santoso) dengan otomasi perpustakaan SLIMS, Anas Al Haq (FB: Anas Al Haq) dengan kreativitasnya membuat perpustakaan menjadi lebih hidup, Ridwan Nur Arifin (FB: Ridwan Nur Arifin), Thoriq Tri Prabowo (FB: Thoriq Tri Prabowo) dengan mengemas informasi dalam bentuk video, Ema Puji Lestari, Nazzatul Farhanah dan masih banyak lagi. Itupun baru yang ada di Yogyakarta, belum lagi diluar Yogyakarta.
               Yang terbaru adalah dibukanya Grathama Pustaka di Yogyakarta yang disebut-sebut merupakan perpustakaan paling besar se- Asia. Perpustakaan besar dengan fasilitas yang luar biasa, tidak hanya perpustakaan yang ada hanya buku dan rak akan tetapi juga fasilitas lainnya yang diharapkan mampu membuat masyarakat nyaman berlama-lama di perpustakaan untuk membaca.
               Masyarakat Indonesia untuk mau membaca buku dan mengenal perpustakaan harus dipaksa dan dikenalkan secara dekat. Berbagai kegiatan yang dilakukan untuk menarik perhatian orang, ide kreatif untuk mengimbangi gencaran teknologi dan internet. Jika mau mebaca sejarah, orang-orang hebat di masa lalu sangat suka membaca untuk bisa memecahkan permasalahan kehidupa, bahkan adaya perpustakaan di rumahnya merupakan simbol martabat yang tinggi di mata masyarakat.
                  Di penghujung tahun 2015 ini, euphoria tentang prediksi-prediksi dari peramal kondang mulai bermunculan untuk memprediksikan atau meramal kejadian apa yang akan terjadi di tahun 2016? Banyak yang bertanya urusan jodoh, asmara, bahkan bencana alam. Peramal menggunakan media kartu, teh, sulat atau apalah media yang digunakan untuk meramal tapi dari sekian banyak peramal belum ada satupun peramala, dukun bayi, dukun santet, atau apalah yang mau dan mampu untuk meramalkan tentang perpustakaan ataupun buku, belum ada bukan? Kenapa ya bisa begitu? Aya juga tidak tahu, hehhe.
              Walaupun seorang pujangga bernama Pramoedya Ananta Toer pernah berucap bahwa harapan hanya akan membawa ketidak adilan, namun Saya tidak mau berhenti berharap. Berharap bahwa masyarakat akan tetapi mencintai buku dan mencintai perpustakaan sehingga transfer ilmu tetap akan berlangsung dari generasi ke generasi.
Semoga Alloh SWT mengabulkan.. Aamiin.

Senin, 28 Desember 2015

“PERPUSTAKAAN BATU” Begitulah Budi Martono menyebutnya

Hallo Gaess, kali ini Aku akan bercerita dan memperkenalkan salah satu temanku di jurusan Ilmu Perpustakaan (S1) UIN Sunan Kalijaga, yups dia adalah Budi Martono. Aku tertarik dengan hobi temanku yang satu ini. Tau nggak sih, dia tu keren banget sebab sangat konsen dengan hal-hal yang berbau cagar budaya, kraton, dan candi. Liat aja posting-postingannya di media sosial seperti Didy Huft (FB), @didy_huft (twitter) dan didy_huft (IG), kebanyakan postingannya memuat hal-hal tersebut. Terus aku bertanya ke Budi, “ Sejak kapan suka sama kraton?”. Awalnya sih kata dia tahun 2012-an, secara tidak sengaja kunjungannya ke Kraton Yogyakarta untuk keperluan tugas kuliah membuatnya tertarik dengan hal-hal yang berkaitan tentang kraton baik makna filosofis dari bangunan maupun tradisi Kraton Yogyakarta. Untuk melengkapi rasa kekurang tahunya lalu dia mencari referensi tentang kraton lebih luas dari buku maupun internet. Bagiku ini sangat menginspirasi dan membuatku kagum dengan Budi atau Didy panggilan akrabnya, sangat kagum. Dia juga sering ikut dalam kegiatan gelaran budaya dari kraton, seperti pentas seni tari, sekaten, gerebeg.
Akhir-akhir ini, aku melihat sedikit berbeda pada postingannya yang kebanyakan di unggah di Instagram, kebanyakan tentang candi. Aku kembali bertanya padanya, “ Kok sekarang candi yang di ekspose?”.  Candi bagi Budi adalah tempat dimana dia bisa menenangkan diri dan mencari inspirasi. Secara tidak langsung dia memang suka wisata ketempat yang sepi atau tidak terlalu ramai, ini membuatnya gemar jelajah candi dan berburu senja disana. Sekitar tahun 2009 ia mengikuti study tour sekolah ke Candi Prambanan, ini pertama kalinya dia pergi ke candi. Waktu ke Prambanan ia hanya sekedar masuk liat-liat tanpa paham tentang sejarah maupun keindahan Prambanan dari segi fisik. Kemudian lambat laun, mulai penasaran dan mencari lebih dalam, lagi-lagi dengan mencari buku untuk referensi. Selain itu agar pemahamannya terhadap per-candi-an dia semakin lengkap ia kembali berkunjung ke candi dan membandingkan secara langsung dengan apa yang ia baca di buku, ini semacam riset kecil-kecilan. Suatu hari Budi pernah pergi ke Candi Borobudur, berbekal buku yang dia pinjam di perpustakaan dan catatan kecil ia mengelilingi selasar Borobudur untuk mempelajari makna filosofis dari setiap relief yang tergambar di dinding Candi Borobudur.
 

Foto    : Budi Martono
Lokasi : Selasar Candi Borobudur

 Sebenarnya relief yang ada di Candi Borobudur merupakan sebagian dari ajaran kitab suci agama Buddha yang di “kemas ulang” kedalam bentuk gambar dan ukiran di batu (relief). Menurutnya ini salah satu model pembelajaran rohani umat Buddha kala itu agar tidak jenuh, dengan melihat visual ajaran agama dalam bentuk relief, seseorang akan lebih mudah menangkap maksud dan tujuan sehingga mencapai penerangan. Dinding Borobudur bisa dibaca dengan prosesi pradaksina yaitu mengkanankan candi untuk membaca relief. Dengan dipimpin seorang pemuka agama kemudian ada narasi yang di sampaikan mengenai apa makna yang terkandung didalamnya. Tentu ini akan lebih menarik, daripada hanya berdiam di dalam ruangan dan membaca buku teks kitab suci. Keren bukan? Orang jaman dahulu saja sudah memikirkan bagaimana agar tidak jenuh membaca buku teks kitab suci yang monoton, kemudian dilakukan kemas ulang informasi dalam bentuk candi. Wajar saja apabila Candi Borobudur dikenal sebagai Mahakarya dan pernah dimasukkan dalam salah satu dari 7 keajaiban dunia.  Disinilah, aku rasa ruh dari kepustakawanan sudah tumbuh pada masa itu.
Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta atau daerah lainnya memiliki ciri yang berbeda tergantung kebudayaan kala candi itu dibangun. Masing-masing candi baik corak Hindu maupun Buddha memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda termasuk relief yang menghiasinya. Ambil contoh, Candi Borobudur memiliki relief sebanyak 1460 buah yang menggambarkan adegan-adegan dan 1212 buah panel relief dekorasi dan apabila dibentangkan kurang lebih bisa mencapai 5 kilometer lebih, kata Budi. Tidak hanya itu, tiap tingkatan pada candi Borobudur mulai dari Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu melambangkan tingkatan kehidupan rohani manusia di Bumi. Semua agama pastinya mengajarkan kebaikan untuk umat manusia sebagai seorang makhluk.
Ini adalah salah satu relief di Candi Borobudur yang menceritakan tentang Kera yang selalu mengusili Kerbau, dan Kerbau tidak pernah marah pada Kera, kisah dalam relief ini diambil dari kisah Jataka
Foto    : Budi Martono
Lokasi : Candi Borobudur
 
Selain bangunan candi, pengelola candi biasanya membangun museum dan perpustakaan. Museum difungsikan untuk menyimpan benda-benda bersejarah baik bebatuan, artefak atau benda lain dari hasil temuan pada masa pemugaran atau di luar area pemugaran, serta foto-foto pendokumentasian selama proses restorasi. Kemudian perpustakaan difungsikan untuk menyimpan dan melayani referensi atau kitab juga dokumentasi tentang adanya candi tersebut. Untuk melakukan restorasi dan pemeliharaan candi dilakukan kerjasama berbagai ahli, mulai dari arkeolog, arsitek, ahli kimia, dan lain sebagainya. Membangun dan melakukan perawatan terhadap candi tidak sembarangan dan harus dilakukan secara teliti. Contohnya dalam melakukan perawatan di Candi Borobudur pada saat terkena dampak hujan abu akibat erupsi gunung berapi, pembersihan dilakukan dengan menyikat dengan sikat ijuk dan di semprot dengan air. Ini dilakukan untuk menghindari batu candi dari korosi maupun lumut.
Budi Martono mengungkapkan bahwa kebanyakan candi saat ini menjadi bangunan mati dan kini difungsikan untuk pariwisata, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dahulunya candi difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa maupun Buddha. Menurutnya candi merupakan perlambang adanya harapan, kekuatan, dan juga rasa percaya. Dan ruh-ruh ketenangan itu saat ini masih bisa dirasakan, ketika mengunjungi candi, masuk di dalamnya ada ketenangan dan kesejukan. Pantas saja Budi selalu ingin berkunjung dan meng-ekspose candi. Ada banyak hal positif baik pelajaran dan ilmu yang didapatkan oleh Budi dari mempelajari candi dan reliefnya, itu juga diterapkan dalam kehidupan seorang Budi Martono, ternyata nenek moyang dahulu sudah lebih arif dan bijaksana.
Ilmu dan pelajaran yang Budi dapatkan tidak hanya dikonsumsi sendiri, akan tetapi selalu dia bagikan ke orang-orang melalui media sosial yang dia punya, bukan hanya sekedar foto, tetapi juga penjelasan-penjelasan yang dia dapatkan dari membaca buku atau internet supaya teman-temannya juga paham makna dari foto itu. Dan hasilnya, ternyata banyak teman-temannya (termasuk aku) yang tertarik dan ingin tahu juga tentang  candi. Menarik bukan ?. Menurut Budi, inilah yang membuat Ia senang, ternyata apa yang dia lakukan bisa memberikan manfaat bagi teman-temannya, semacam Transfer of Value , heheehe . ini salah satu dokumentasi waktu Budi memberikan penjelasan kepada temannya tentang atap berbentuk stupa di Candi Plaosan
Foto      : Budi Martono
Lokasi   : Candi Plaosan

Ketika ada kawan-kawan yang ikut bersamanya jelajah candi, Budi semaksimalnya memberikan penjelasan mengenai bangunan candi tersebut, sebelumnya ia telah melakukan penelusuran informasi. Dari situ nanti akan terjalin dua dialog, satu menerangkan dan satu bertanya, semacam sharing informasi dan apabila ada kesalahan maupun koreksi dengan senang hati Budi menerimanya. Tapi kata Budi sering sekali kawan-kawan banyak bertanya hal-hal tak terduga dan ini membuatnya untuk terus belajar. Dalam hal ini Budi sudah menerapkan prinsip literasi informasi. Saat jelajah candi, Budi berharap mari sebelumnya kita belajar dahulu, ia akan mengajak keliling candi sembari ber-story telling. Setelah itu kita bisa berfoto. Jangan sampai kita hanya berkunjung ke candi hanya foto-foto tapi tidak tahu sejarah dan maknanya. Begitu juga di tempat lain. Mulia bukan?
Foto    : @mametfadhlallah (Rahmat Sunyoto)
Lokasi : Selasar Candi Borobudur

Dari keseluruhan candi yang sudah Ia dikunjungi, kurang lebih sebanyak 24 candi yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia masih ingin jelajah lebih banyak candi lagi. Budi memberikan statement bahwa candi adalah Perpustakaan Batu, Saya sangat sepakat dengan statement itu. Banyak sekali informasi yang dikemas kedalam sebuah bangunan candi suci dan agung yang disarikan dari kitab suci. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari candi baik nilai filosofi yang luhur. Dan tentunya candi adalah salah satu peninggalan nenek moyang yang  agung dan perlu dilestarikan. Perpustakaan Batu, begitulah seorang Budi Martono menyebutnya. Hobi yang tidak biasa, menerapkan prinsip-prinsip kepustakawanan dalam menyalurkan hobinya mempelajari candi melalui story telling, literasi informasi dan menyebarluaskan informasi.
Terimakasih kawanku Budi Martono telah menginspirasi dan semoga juga menginspirasi teman-teman yang lain untuk lebih mencintai budaya kita, budaya Indonesia. Budi Martono, pustakawan yang gigih memperkenalkan PERPUSTAKAAN BATU.

Foto    :Budi Martono
Lokasi : Candi Plaosan











 

Jumat, 25 Desember 2015

FENOMENA #KIMV



        Akhir-akhir ini pasti banyak pertanyaan dari teman-teman. Setiap up-date di sosial media oleh penulis blog ini pasti diakhirnya ada tagar #KIMV. Mungkin teman-teman canggung atau ragu untuk menanyakan perihal si #KIMV ini dan malah menganggap jangan-jangan ini sebuah aliran berbahaya, bahkan sampai berfikir ini adalah sebuah bisnis semacam MLM atau apalah-apalah kata Iis Dahlia.
         Oke, saya jelaskan dan klarifikasi melalui tulisan ini, semoga memberi pencerahan, Aamiin. KIMV merupakan sebuah mata kuliah di program Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Perpustakaan Dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mata kuliah ini Saya terima di semester 3 yang saat ini Saya sedang jalani. KIMV merupakan singkatan dari Kajian Internet Dan Masyarakat Virtual yang diampu oleh Dr. Nurdin Laugu dan Labibah Zain MLIS. Pada sesi Dr.Nurdin Laugu, kami diberi teori tentang dunia Cyber, segala permasalahan yang ditimbulkan dari Dunia Maya. Kemudian pada sesi kedua oleh Mak Nyak alias si emak nge-hits bidadari dari pekalongan yang (ngaku-ngaku) mirip Kajol, yups Miss.Labibah Zain. Nahhh aliran #KIMV inilah didakwahkan oleh Bu Labibah kepada mahasiswanya termasuk Saya untuk mengikuti aliran KIMV yang ditebarkan melalui media sosial.
Tujuan dari mata kuliah ini adalah untuk mendidik para mahasiswa jurusan Ilmu Perpustaakaan bisa membuat branding dan Label diri sebagai pustakawan melalui hal terunik yang dimiliki oleh pustakawan sebagai point plus bahwa pustakawan bukan orang yang perlu dimuseumkan. Selain itu juga mendidik kita agar pandai dan cerdas dalam berinterkasi dengan dunia maya. Banyak kan kasus-kasus atau permasalahan yang ditimbulkan akibat aktivitas di dunia maya. Menarik bukan? Pustakawan juga belajar dunia beginian.
Kami dipaksa untuk mampu menarik hati para “followers” di dunia maya untuk tertarik dengan perpustakaan. Kejam!! Memang Kejam!!.. Dipaksa selalu update diberbagai sosial media intinya tentang berbagi ilmu. Berat banget apalagi bagi kaum generasi Old yang sedikit gaptek untuk bisa memiliki inovasi dan kreatifitas untuk mengemas informasi. Saya saja sampai bingung mau ngapain, mau diapain, apa yang mesti di share. Bisa dibayangkan g?? nggak usah dibayangin deh, hehe..
           Tapi dibalik kekejaman itu ada nilai luar biasa yang ingin dibangun oleh Miss.Labibah Zain, bahwa selama ini pustakawan dan perpustakaan tidak dikenal ya karna pustakawan sendiri yang tidak mau melakukan promosi, koar-koar melakukan perkenalan diri. Naahhh melalui tugas dalam mata kuliah KIMV ini, beliau ingin melatih kami bagaimana mulai percaya diri tampil di dunia maya biar orang tau yang dipelajari di ilmu perpustakaan bukan hanya “noto buku”, tapi segala hal yang berkaitan dengan informasi.
Sudahkah ada pencerahan mengenai pertanyaan yang selama ini terngiang-ngiang sampai tak bisa tidur?
            #KIMV itu bukan aliran berbahaya Kawan, KIMV itu bukan bisnis MLM, tapi KIMV adalah pelajaran untuk berbagi, berbagi apa itu? Yang pasti bukan berbagi pacar jangan khawatir bagi yang punya pacar dan jangan kesenengan yang masih jomblo. Hahha.
      Yang dibagi tentunya adalah informasi, dengan gerakan literasi mencerdaskan negri dibaliknya terdapat intrik untuk melakukan promosi, tapi bukan ajang komersialisasi karena ini adalah misi untuk mewujudkan generasi penerus yang berprestasi yang menjadi kebanggaan untuk  negri melalui profesi pustakawan dan sebuah wadah bernama perpustakaan. #KIMV

Selasa, 22 Desember 2015

Sisi Lain Prof.Sulistyo-Basuki

Hallo gaess.. kembali saya akan bercerita tentang pengalaman yang saya dapatkan selama berkenalan dengan dunia perpustakaan. Hmm kali ini Saya akan bercerita tentang sisi lain dari Guru besar Kami di bidang perpustakaan dan informasi yaitu Prof.Sulistyo-Basuki.
Bagi temen-temen perpustakaan pasti tidak asing lagi dengan nama Profesor yang satu ini. Beliau adalah satu-satunya Profesor bidang ilmu perpustakaan yang dimiliki Indonesia sampai saat ini. Usianya memang sudah tidak muda lagi, tapi semangatnya sangat berkobar untuk meng-hits kan pustakawan dan perpustaSaya sangat bangga bisa bertemu beliau, diberikan pelajaran langsung dari beliau, proses transfer ilmu langsung dari sang guru besar. Beliau adalah salah satu dosen Saya program studi Interdisclipinary Islamic Studies konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga selama 2 semester.
Selama kenal dengan beliau, sosok yang ramah, santun, tanpa pamrih dan ikhlas. Di usia yang seharusnya bisa dihabiskan untuk di rumah menikmati masa senja, beliau habiskan untuk mengajar. Beliau rela untuk bolak balik Jogja-Jakarta tiap 2 minggu sekali untuk memberikan pelajaran kepada Kami. Haduhh malah jadi termehek-mehek ni nulisnya...
Oke sisi lain yang saya maksud adalah:
FAKTA PERTAMA beliau ternyata orang yang suka makan-makanan tradisional, buktinya ketika di Jogja beliau mengajak kami mahasiswanya untuk makan siang bersama di ayam ingkung Mbah Cemplung di daerah Pajangan, Bantul.
Jarang-jarangkan seorang guru besar mau duduk bersama makan bersama dengan mahasiswanya.
Bahkan disela-sela makan pun Beliau sangat antusias mendengarkan cerita-cerita Kami mahasiswanya yang saling sahut-sahutan bercerita. Kaya cucu lagi cerita sama kakeknya, bisa membayangkan to?? Ya begitulah ceritanya... hehhe..
yang kedua Beliau kami ajak makan lagi lagi-lagi Ayam. Yang ini ayam goreng Mbah Cempluk di daerah lagi-lagi Bantul.. Beliau tu seneng banget diajak makan ditempat-tempat tradisional dan makanan tradisional. Karena bosen kali ya hidup di kota Metropolitan yang serba Sumpek (Asumsi penulis sendiri). ini bukti kebersamaan kami.

FAKTA KEDUA. Beliau mau lho foto ala-ala anak alay, maksutnya foto narsis begitu... ini nihh buktinyaa.. hahhhaa..
FAKTA KETIGA. Beliau nggak pelit informasi. Walah beliau tu orangnya Royal informasi, apalagi Call for
Paper yang bikin mahasiswanya terbang ke luar negeri. Salah satu korbannya ya Saya ini. sempet nangis-nangis karena diberi Tugas bikin Paper bahasa Ingrris trus dikirim ke Consal XVI. Ehhh akhirnya malah bisa bikin Saya terbang dan merasakan makanan Bangkok, Thailand. Ya seperti artikel dalam blog saya sebelumnya. Terimakasih ya Prof.. Hehehe


(FOTO: ABAIKAN YANG BELAKANG!!!)
Maafkan cucumu (ngaku-ngaku) yang satu ini ya prof...
Itulah fakta-fakta yang bisa Saya share buat kalian-kalian semua, biar pada ngiler pengen kenalan sama Prof. Sulistyo-Basuki.
Do'aku untuk Prof.Sulis, Sehat Selalu ya prof, Bahagia selalu ya Prof, biar bisa melihat anak didikmu berhasil mengikuti jejakmu. Aamiin...
Sudah ya ceritanya, disambung besok lagi... Mpun Nggih.. masih ada stok cerita lain dari sosok hebat lain. oke gaesss.. see youuu

Jumat, 27 November 2015

Kembali saya menyapa Anda dalam blog ini setelah sekian lama saya tidak membuat apapun dalam blog ini. Mungkin pembaca masih ingat dengan judul blog saya yang lalu yang sedikit membahas tentang kemiliteran-kemiliteran yang memang dulu Saya suka kegiatan tersebut.
Dalam Blog ini mungkin Saya tidak akan lagi membahas tentang kemiliteran ataupun bela negara, kali ini saya akan membagi pengalaman apa yang Saya dapatkan sebagai orang yang berprofesi sebagai Pustakawan.
Pengalaman apa yang akan Saya bagi kali ini adalah pengalaman ketika Saya pergi ke Bangkok, Thailand. Hal yang benar-benar di luar dugaan Saya bisa pergi ke Thailand. Saya pergi ke Thailand untuk memaparkan paper Saya yang berjudul "DOKUMENTATION VIDEO AS A FINAL EFFORT PRESERVATION STAGING STUDENTS DANCE SMK N 1 KASIHAN, BANTUL (INDONESIAN KARAWITAN HIGH SCHOOL). Itu adalah makalah Saya tentang preservasi warisan budaya Indonesia yaitu tarian jawa klasik kuno yang memang masih dipelajari di SMK N 1 Kasihan Bantul, tempat Saya mengawali karir profesional di bidang perpustakaan dan informasi.
Makalah saya diterima dalam event besar bagi pustakawan-pustakawan se-Asia Tenggara yaitu CONSAL XVI tepatnya pada bulan Juni 2015. Saya penulis amatiran bisa berdampingan dengan Profesor-profesor bidang ilmu perpustakaan dan informasi se-Asia Tenggara. Ini saya bagikan beberapa foto secuil lahh untuk pembaca.
Ini adalah teman presentasi panel Saya ketika presentasi di ruang 227 lantai.2 gedung BITEC (Bangkok International Trade Ecxibition Center). Dari paling kiri adalah perwakilan panitia CONSAL XVI, yang pakai kemeja putih seorang delegasi dari India, yang tengah adalah perwakilan dari perpustakaan nasional Thailand, kemudian Saya yang berjilbab hijau tosca, disamping kanan saya adalah delegasi Indonesia juga teman presentasi panel saya dari Indonesia.
Di gambar tersebut hanya saya yang Sarjana Ilmu Perpustakaan, sedangkan disamping-samping Saya sudah jauh melesat di ats saya baik dari pendidikan maupun pengalaman. Ternyata, penulisan karya ilmiah di bidang Ilmu Perpustakaan tidak memandang satatus pendidikan, semua diapresiasi untuk kemajuan Ilmu Perpustakaan. Pada event itu Saya bertemu orang-orang hebat Salah satunya adalah ini, Presiden IFLA.
Kalau yang ini Saya berfoto bareng teman-teman delegasi dari Indonesia. Disamping kiri Saya ini mbak Nurul Istifaiyah, yang pakai jas Putih itulah presiden IFLA, cantik yaaaa.... kemudian laki-laki berbaju batik namanya Thoriq Tri Prabowo, dia teman saya ketika S1 dulu di jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi sampai sekarang masih teman sekelas di S2 Ilmu perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, daan yang terakhir laki-laki berpakaian jas rapih ini adalah penulis aktif bidang perpustakaan, yaitu Moh.Mursyid, tulisannya sudah melanglang buana di media masa tanah air Indonesia Raya. Banyak hal yang Saya dapatkan dari profesi Pustakawan ini. Bangga rasanya bisa bertemu orang-orang hebat. O iya, dalam event itu, delegasi dari Indonesia adalah yang terbanyak dari keseluruhan negara yang bergabung. Ini dia delegasi dari indonesia. Bendera merah putih berkibar di sana. Foto ini sebagai penutup tulisan Saya kali ini. Semoga menginspirasi bagi pembaca, sampai jumpa di pertemuan berikutnya yaa... Gara-gara saya nyemplung di dunia Kepustakawanan Saya bisa ke luar negeri... Super sekalii..