Hallo Gaess, kali ini Aku akan
bercerita dan memperkenalkan salah satu temanku di jurusan Ilmu Perpustakaan
(S1) UIN Sunan Kalijaga, yups dia adalah Budi Martono. Aku tertarik dengan hobi
temanku yang satu ini. Tau nggak sih, dia tu keren banget sebab sangat konsen dengan
hal-hal yang berbau cagar budaya, kraton, dan candi. Liat aja posting-postingannya
di media sosial seperti Didy Huft (FB), @didy_huft (twitter) dan didy_huft (IG),
kebanyakan postingannya memuat hal-hal tersebut. Terus aku bertanya ke Budi, “
Sejak kapan suka sama kraton?”. Awalnya sih kata dia tahun 2012-an, secara
tidak sengaja kunjungannya ke Kraton Yogyakarta untuk keperluan tugas kuliah
membuatnya tertarik dengan hal-hal yang berkaitan tentang kraton baik makna
filosofis dari bangunan maupun tradisi Kraton Yogyakarta. Untuk melengkapi rasa
kekurang tahunya lalu dia mencari referensi tentang kraton lebih luas dari buku
maupun internet. Bagiku ini sangat menginspirasi dan membuatku kagum dengan
Budi atau Didy panggilan akrabnya, sangat kagum. Dia juga sering ikut dalam kegiatan
gelaran budaya dari kraton, seperti pentas seni tari, sekaten, gerebeg.
Akhir-akhir ini, aku melihat sedikit
berbeda pada postingannya yang kebanyakan di unggah di Instagram, kebanyakan
tentang candi. Aku kembali bertanya padanya, “ Kok sekarang candi yang di
ekspose?”. Candi bagi Budi adalah tempat
dimana dia bisa menenangkan diri dan mencari inspirasi. Secara tidak langsung
dia memang suka wisata ketempat yang sepi atau tidak terlalu ramai, ini
membuatnya gemar jelajah candi dan berburu senja disana. Sekitar tahun 2009 ia
mengikuti study tour sekolah ke Candi
Prambanan, ini pertama kalinya dia pergi ke candi. Waktu ke Prambanan ia hanya sekedar
masuk liat-liat tanpa paham tentang sejarah maupun keindahan Prambanan dari
segi fisik. Kemudian lambat laun, mulai penasaran dan mencari lebih dalam,
lagi-lagi dengan mencari buku untuk referensi. Selain itu agar pemahamannya
terhadap per-candi-an dia semakin lengkap ia kembali berkunjung ke candi dan
membandingkan secara langsung dengan apa yang ia baca di buku, ini semacam
riset kecil-kecilan. Suatu hari Budi pernah pergi ke Candi Borobudur, berbekal
buku yang dia pinjam di perpustakaan dan catatan kecil ia mengelilingi selasar
Borobudur untuk mempelajari makna filosofis dari setiap relief yang tergambar
di dinding Candi Borobudur.
Foto : Budi Martono
Lokasi : Selasar Candi Borobudur
Sebenarnya relief yang ada
di Candi Borobudur merupakan sebagian dari ajaran kitab suci agama Buddha yang
di “kemas ulang” kedalam bentuk gambar dan ukiran di batu (relief). Menurutnya
ini salah satu model pembelajaran rohani umat Buddha kala itu agar tidak jenuh,
dengan melihat visual ajaran agama dalam bentuk relief, seseorang akan lebih
mudah menangkap maksud dan tujuan sehingga mencapai penerangan. Dinding
Borobudur bisa dibaca dengan prosesi pradaksina yaitu mengkanankan candi untuk
membaca relief. Dengan dipimpin seorang pemuka agama kemudian ada narasi yang
di sampaikan mengenai apa makna yang terkandung didalamnya. Tentu ini akan
lebih menarik, daripada hanya berdiam di dalam ruangan dan membaca buku teks
kitab suci. Keren bukan? Orang jaman dahulu saja sudah memikirkan bagaimana
agar tidak jenuh membaca buku teks kitab suci yang monoton, kemudian dilakukan
kemas ulang informasi dalam bentuk candi. Wajar saja apabila Candi Borobudur
dikenal sebagai Mahakarya dan pernah dimasukkan dalam salah satu dari 7
keajaiban dunia. Disinilah, aku rasa ruh
dari kepustakawanan sudah tumbuh pada masa itu.
Candi di Jawa Tengah dan
Yogyakarta atau daerah lainnya memiliki ciri yang berbeda tergantung kebudayaan
kala candi itu dibangun. Masing-masing candi baik corak Hindu maupun Buddha memiliki
ciri khas dan fungsi yang berbeda termasuk relief yang menghiasinya. Ambil contoh,
Candi Borobudur memiliki relief sebanyak 1460 buah yang menggambarkan
adegan-adegan dan 1212 buah panel relief dekorasi dan apabila dibentangkan
kurang lebih bisa mencapai 5 kilometer lebih, kata Budi. Tidak hanya itu, tiap
tingkatan pada candi Borobudur mulai dari Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu
melambangkan tingkatan kehidupan rohani manusia di Bumi. Semua agama pastinya
mengajarkan kebaikan untuk umat manusia sebagai seorang makhluk.
Ini adalah salah satu relief di Candi Borobudur yang menceritakan tentang Kera yang selalu mengusili Kerbau, dan Kerbau tidak pernah marah pada Kera, kisah dalam relief ini diambil dari kisah Jataka
Foto : Budi Martono
Lokasi : Candi Borobudur
Selain bangunan candi, pengelola
candi biasanya membangun museum dan perpustakaan. Museum difungsikan untuk
menyimpan benda-benda bersejarah baik bebatuan, artefak atau benda lain dari
hasil temuan pada masa pemugaran atau di luar area pemugaran, serta foto-foto
pendokumentasian selama proses restorasi. Kemudian perpustakaan difungsikan
untuk menyimpan dan melayani referensi atau kitab juga dokumentasi tentang
adanya candi tersebut. Untuk melakukan restorasi dan pemeliharaan candi
dilakukan kerjasama berbagai ahli, mulai dari arkeolog, arsitek, ahli kimia,
dan lain sebagainya. Membangun dan melakukan perawatan terhadap candi tidak
sembarangan dan harus dilakukan secara teliti. Contohnya dalam melakukan
perawatan di Candi Borobudur pada saat terkena dampak hujan abu akibat erupsi
gunung berapi, pembersihan dilakukan dengan menyikat dengan sikat ijuk dan di
semprot dengan air. Ini dilakukan untuk menghindari batu candi dari korosi
maupun lumut.
Budi Martono mengungkapkan bahwa
kebanyakan candi saat ini menjadi bangunan mati dan kini difungsikan untuk
pariwisata, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dahulunya candi difungsikan
sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa maupun Buddha. Menurutnya candi
merupakan perlambang adanya harapan, kekuatan, dan juga rasa percaya. Dan
ruh-ruh ketenangan itu saat ini masih bisa dirasakan, ketika mengunjungi candi,
masuk di dalamnya ada ketenangan dan kesejukan. Pantas saja Budi selalu ingin
berkunjung dan meng-ekspose candi. Ada banyak hal positif baik pelajaran dan
ilmu yang didapatkan oleh Budi dari mempelajari candi dan reliefnya, itu juga
diterapkan dalam kehidupan seorang Budi Martono, ternyata nenek moyang dahulu
sudah lebih arif dan bijaksana.
Ilmu dan pelajaran yang Budi
dapatkan tidak hanya dikonsumsi sendiri, akan tetapi selalu dia bagikan ke
orang-orang melalui media sosial yang dia punya, bukan hanya sekedar foto,
tetapi juga penjelasan-penjelasan yang dia dapatkan dari membaca buku atau
internet supaya teman-temannya juga paham makna dari foto itu. Dan hasilnya,
ternyata banyak teman-temannya (termasuk aku) yang tertarik dan ingin tahu juga
tentang candi. Menarik bukan ?. Menurut
Budi, inilah yang membuat Ia senang, ternyata apa yang dia lakukan bisa
memberikan manfaat bagi teman-temannya, semacam Transfer of Value , heheehe . ini salah satu dokumentasi waktu Budi memberikan penjelasan kepada temannya tentang atap berbentuk stupa di Candi Plaosan
Foto : Budi MartonoLokasi : Candi Plaosan
Ketika ada kawan-kawan yang ikut
bersamanya jelajah candi, Budi semaksimalnya memberikan penjelasan mengenai
bangunan candi tersebut, sebelumnya ia telah melakukan penelusuran informasi.
Dari situ nanti akan terjalin dua dialog, satu menerangkan dan satu bertanya, semacam
sharing informasi dan apabila ada
kesalahan maupun koreksi dengan senang hati Budi menerimanya. Tapi kata Budi
sering sekali kawan-kawan banyak bertanya hal-hal tak terduga dan ini
membuatnya untuk terus belajar. Dalam hal ini Budi sudah menerapkan prinsip
literasi informasi. Saat jelajah candi, Budi berharap mari sebelumnya kita
belajar dahulu, ia akan mengajak keliling candi sembari ber-story telling. Setelah itu kita bisa
berfoto. Jangan sampai kita hanya berkunjung ke candi hanya foto-foto tapi tidak
tahu sejarah dan maknanya. Begitu juga di tempat lain. Mulia bukan?
Foto : @mametfadhlallah (Rahmat Sunyoto)Lokasi : Selasar Candi Borobudur
Dari keseluruhan candi yang sudah
Ia dikunjungi, kurang lebih sebanyak 24 candi yang ada di wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Ia masih ingin jelajah lebih banyak candi lagi. Budi memberikan statement bahwa candi adalah
Perpustakaan Batu, Saya sangat sepakat dengan statement itu. Banyak sekali
informasi yang dikemas kedalam sebuah bangunan candi suci dan agung yang
disarikan dari kitab suci. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari candi baik
nilai filosofi yang luhur. Dan tentunya candi adalah salah satu peninggalan
nenek moyang yang agung dan perlu
dilestarikan. Perpustakaan Batu, begitulah seorang Budi Martono menyebutnya.
Hobi yang tidak biasa, menerapkan prinsip-prinsip kepustakawanan dalam menyalurkan
hobinya mempelajari candi melalui story
telling, literasi informasi dan menyebarluaskan informasi.
Terimakasih kawanku Budi Martono telah menginspirasi dan
semoga juga menginspirasi teman-teman yang lain untuk lebih mencintai budaya
kita, budaya Indonesia. Budi Martono, pustakawan yang gigih memperkenalkan
PERPUSTAKAAN BATU.


Foto :Budi Martono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar