Senin, 28 Desember 2015

“PERPUSTAKAAN BATU” Begitulah Budi Martono menyebutnya

Hallo Gaess, kali ini Aku akan bercerita dan memperkenalkan salah satu temanku di jurusan Ilmu Perpustakaan (S1) UIN Sunan Kalijaga, yups dia adalah Budi Martono. Aku tertarik dengan hobi temanku yang satu ini. Tau nggak sih, dia tu keren banget sebab sangat konsen dengan hal-hal yang berbau cagar budaya, kraton, dan candi. Liat aja posting-postingannya di media sosial seperti Didy Huft (FB), @didy_huft (twitter) dan didy_huft (IG), kebanyakan postingannya memuat hal-hal tersebut. Terus aku bertanya ke Budi, “ Sejak kapan suka sama kraton?”. Awalnya sih kata dia tahun 2012-an, secara tidak sengaja kunjungannya ke Kraton Yogyakarta untuk keperluan tugas kuliah membuatnya tertarik dengan hal-hal yang berkaitan tentang kraton baik makna filosofis dari bangunan maupun tradisi Kraton Yogyakarta. Untuk melengkapi rasa kekurang tahunya lalu dia mencari referensi tentang kraton lebih luas dari buku maupun internet. Bagiku ini sangat menginspirasi dan membuatku kagum dengan Budi atau Didy panggilan akrabnya, sangat kagum. Dia juga sering ikut dalam kegiatan gelaran budaya dari kraton, seperti pentas seni tari, sekaten, gerebeg.
Akhir-akhir ini, aku melihat sedikit berbeda pada postingannya yang kebanyakan di unggah di Instagram, kebanyakan tentang candi. Aku kembali bertanya padanya, “ Kok sekarang candi yang di ekspose?”.  Candi bagi Budi adalah tempat dimana dia bisa menenangkan diri dan mencari inspirasi. Secara tidak langsung dia memang suka wisata ketempat yang sepi atau tidak terlalu ramai, ini membuatnya gemar jelajah candi dan berburu senja disana. Sekitar tahun 2009 ia mengikuti study tour sekolah ke Candi Prambanan, ini pertama kalinya dia pergi ke candi. Waktu ke Prambanan ia hanya sekedar masuk liat-liat tanpa paham tentang sejarah maupun keindahan Prambanan dari segi fisik. Kemudian lambat laun, mulai penasaran dan mencari lebih dalam, lagi-lagi dengan mencari buku untuk referensi. Selain itu agar pemahamannya terhadap per-candi-an dia semakin lengkap ia kembali berkunjung ke candi dan membandingkan secara langsung dengan apa yang ia baca di buku, ini semacam riset kecil-kecilan. Suatu hari Budi pernah pergi ke Candi Borobudur, berbekal buku yang dia pinjam di perpustakaan dan catatan kecil ia mengelilingi selasar Borobudur untuk mempelajari makna filosofis dari setiap relief yang tergambar di dinding Candi Borobudur.
 

Foto    : Budi Martono
Lokasi : Selasar Candi Borobudur

 Sebenarnya relief yang ada di Candi Borobudur merupakan sebagian dari ajaran kitab suci agama Buddha yang di “kemas ulang” kedalam bentuk gambar dan ukiran di batu (relief). Menurutnya ini salah satu model pembelajaran rohani umat Buddha kala itu agar tidak jenuh, dengan melihat visual ajaran agama dalam bentuk relief, seseorang akan lebih mudah menangkap maksud dan tujuan sehingga mencapai penerangan. Dinding Borobudur bisa dibaca dengan prosesi pradaksina yaitu mengkanankan candi untuk membaca relief. Dengan dipimpin seorang pemuka agama kemudian ada narasi yang di sampaikan mengenai apa makna yang terkandung didalamnya. Tentu ini akan lebih menarik, daripada hanya berdiam di dalam ruangan dan membaca buku teks kitab suci. Keren bukan? Orang jaman dahulu saja sudah memikirkan bagaimana agar tidak jenuh membaca buku teks kitab suci yang monoton, kemudian dilakukan kemas ulang informasi dalam bentuk candi. Wajar saja apabila Candi Borobudur dikenal sebagai Mahakarya dan pernah dimasukkan dalam salah satu dari 7 keajaiban dunia.  Disinilah, aku rasa ruh dari kepustakawanan sudah tumbuh pada masa itu.
Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta atau daerah lainnya memiliki ciri yang berbeda tergantung kebudayaan kala candi itu dibangun. Masing-masing candi baik corak Hindu maupun Buddha memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda termasuk relief yang menghiasinya. Ambil contoh, Candi Borobudur memiliki relief sebanyak 1460 buah yang menggambarkan adegan-adegan dan 1212 buah panel relief dekorasi dan apabila dibentangkan kurang lebih bisa mencapai 5 kilometer lebih, kata Budi. Tidak hanya itu, tiap tingkatan pada candi Borobudur mulai dari Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu melambangkan tingkatan kehidupan rohani manusia di Bumi. Semua agama pastinya mengajarkan kebaikan untuk umat manusia sebagai seorang makhluk.
Ini adalah salah satu relief di Candi Borobudur yang menceritakan tentang Kera yang selalu mengusili Kerbau, dan Kerbau tidak pernah marah pada Kera, kisah dalam relief ini diambil dari kisah Jataka
Foto    : Budi Martono
Lokasi : Candi Borobudur
 
Selain bangunan candi, pengelola candi biasanya membangun museum dan perpustakaan. Museum difungsikan untuk menyimpan benda-benda bersejarah baik bebatuan, artefak atau benda lain dari hasil temuan pada masa pemugaran atau di luar area pemugaran, serta foto-foto pendokumentasian selama proses restorasi. Kemudian perpustakaan difungsikan untuk menyimpan dan melayani referensi atau kitab juga dokumentasi tentang adanya candi tersebut. Untuk melakukan restorasi dan pemeliharaan candi dilakukan kerjasama berbagai ahli, mulai dari arkeolog, arsitek, ahli kimia, dan lain sebagainya. Membangun dan melakukan perawatan terhadap candi tidak sembarangan dan harus dilakukan secara teliti. Contohnya dalam melakukan perawatan di Candi Borobudur pada saat terkena dampak hujan abu akibat erupsi gunung berapi, pembersihan dilakukan dengan menyikat dengan sikat ijuk dan di semprot dengan air. Ini dilakukan untuk menghindari batu candi dari korosi maupun lumut.
Budi Martono mengungkapkan bahwa kebanyakan candi saat ini menjadi bangunan mati dan kini difungsikan untuk pariwisata, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dahulunya candi difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa maupun Buddha. Menurutnya candi merupakan perlambang adanya harapan, kekuatan, dan juga rasa percaya. Dan ruh-ruh ketenangan itu saat ini masih bisa dirasakan, ketika mengunjungi candi, masuk di dalamnya ada ketenangan dan kesejukan. Pantas saja Budi selalu ingin berkunjung dan meng-ekspose candi. Ada banyak hal positif baik pelajaran dan ilmu yang didapatkan oleh Budi dari mempelajari candi dan reliefnya, itu juga diterapkan dalam kehidupan seorang Budi Martono, ternyata nenek moyang dahulu sudah lebih arif dan bijaksana.
Ilmu dan pelajaran yang Budi dapatkan tidak hanya dikonsumsi sendiri, akan tetapi selalu dia bagikan ke orang-orang melalui media sosial yang dia punya, bukan hanya sekedar foto, tetapi juga penjelasan-penjelasan yang dia dapatkan dari membaca buku atau internet supaya teman-temannya juga paham makna dari foto itu. Dan hasilnya, ternyata banyak teman-temannya (termasuk aku) yang tertarik dan ingin tahu juga tentang  candi. Menarik bukan ?. Menurut Budi, inilah yang membuat Ia senang, ternyata apa yang dia lakukan bisa memberikan manfaat bagi teman-temannya, semacam Transfer of Value , heheehe . ini salah satu dokumentasi waktu Budi memberikan penjelasan kepada temannya tentang atap berbentuk stupa di Candi Plaosan
Foto      : Budi Martono
Lokasi   : Candi Plaosan

Ketika ada kawan-kawan yang ikut bersamanya jelajah candi, Budi semaksimalnya memberikan penjelasan mengenai bangunan candi tersebut, sebelumnya ia telah melakukan penelusuran informasi. Dari situ nanti akan terjalin dua dialog, satu menerangkan dan satu bertanya, semacam sharing informasi dan apabila ada kesalahan maupun koreksi dengan senang hati Budi menerimanya. Tapi kata Budi sering sekali kawan-kawan banyak bertanya hal-hal tak terduga dan ini membuatnya untuk terus belajar. Dalam hal ini Budi sudah menerapkan prinsip literasi informasi. Saat jelajah candi, Budi berharap mari sebelumnya kita belajar dahulu, ia akan mengajak keliling candi sembari ber-story telling. Setelah itu kita bisa berfoto. Jangan sampai kita hanya berkunjung ke candi hanya foto-foto tapi tidak tahu sejarah dan maknanya. Begitu juga di tempat lain. Mulia bukan?
Foto    : @mametfadhlallah (Rahmat Sunyoto)
Lokasi : Selasar Candi Borobudur

Dari keseluruhan candi yang sudah Ia dikunjungi, kurang lebih sebanyak 24 candi yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia masih ingin jelajah lebih banyak candi lagi. Budi memberikan statement bahwa candi adalah Perpustakaan Batu, Saya sangat sepakat dengan statement itu. Banyak sekali informasi yang dikemas kedalam sebuah bangunan candi suci dan agung yang disarikan dari kitab suci. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari candi baik nilai filosofi yang luhur. Dan tentunya candi adalah salah satu peninggalan nenek moyang yang  agung dan perlu dilestarikan. Perpustakaan Batu, begitulah seorang Budi Martono menyebutnya. Hobi yang tidak biasa, menerapkan prinsip-prinsip kepustakawanan dalam menyalurkan hobinya mempelajari candi melalui story telling, literasi informasi dan menyebarluaskan informasi.
Terimakasih kawanku Budi Martono telah menginspirasi dan semoga juga menginspirasi teman-teman yang lain untuk lebih mencintai budaya kita, budaya Indonesia. Budi Martono, pustakawan yang gigih memperkenalkan PERPUSTAKAAN BATU.

Foto    :Budi Martono
Lokasi : Candi Plaosan











 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar